Ketika Air di Ambang Krisis

Ketika Air di Ambang Krisis - Air kita berada dalam kondisi yang kritis. Begitulah kira-kira bila kita mengamati fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Ketika musim hujan, bukan hanya harta menjadi taruhan, tapi juga nyawa menadi korban karena air menjalar ke tempat yang tak semestinya. Sebaliknya, ketika musim kemarau tiba, demi mendapatkan satu bejana air saja kita mesti berjalan berkilo-kilo. Itupun ditambah dengan antre berjam-jam. Lebih sial lagi kalau kita tidak kebagian "jatah" air karena demikian banyak orang yang mengambil air.

Ada yang mestinya kita pelajari dari perilaku alam. Mengapa alam kini seolah memusuhi setelah sekian lama menjadi sandaran hidup. Alam memiliki alur kearifan sendiri dan sudah keharusan bagi kita untuk mengikuti kearifan alam. Jika tak, ketegangan akan terjadi.

Tidak berbeda pula dengan air. Jakarta dan sekitarnya, juga kota lain yang menjadi pelanggan banjir ketika datang musim penghujan, adalah bukti ketegangan itu. Mengapa air bisa seketika datang dalam volume yang besar dan kadang raib begitu saja?

Berkurangnya daerah resapan air dengan gundulnya hutan menyebabkan dan memperparah krisis air di beberapa wilayah di negeri ini. Dataran yang seharusnya menjadi daerah resapan menjelma hamparan rumah dan bangunan lain. Ditambah dengan kebijakan pembangunan yang tidak dibarengi dengan kesadaran ekologis. Hal tersebut menyebabkan hilangnya keseimbangan daur hidrologi. Ahirnya timbullah bencana banjir dan kekeringan.

Ada yang perlu direnungkan kembali antara hubungan manusia dengan alam. Rasionalitas manusia dengan daya dukung pengetahuan memunculkan egosentrisme. Merasa "berkuasa" atas segala yang ada di atas bumi. Cenderung eksploitatif, tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang yang akan ditanggung.

Bukan tidak mungkin banjir dan kekeringan yang terjadi adalah akibat kecerobohan manusia. Alam patuh dengan hukumnya, siapa yang menanam maka ia akan menuai. Sayang kita menanam kerusakan, sehingga kita memperoleh celaka. Ada banyak beban dan biaya sosial yang harus ditanggung dari apa yang telah kita lakukan. Di sini peran kita sebagai manusia berfungsi untuk lebih bijak terhadap alam.

Ungkapan Mahatma Gandhi, "satu bumi tak cukup untuk seorang yang rakus" agaknya perlu kita bongkar kembali dari ingatan kita. sebab masa depan air dan kelangsungan ekologi jelas berada di tangan kita. Kitalah yang harus menjaganya, sebab alam bukan harta yang diwariskan oleh nenek moyang. Tapi, titipan dari anak cucu.